Ballada Sumila

Karya :WS RENDRA


NP: Tubuhnya lilin tersimpan di keranda

Tapi halusnya putih pergi kembara

Datang yang berkabar bau kemboja

Dari sepotong bumi keramat di bukit

Makan dari bau kemenyan


πŸ‘¨Sumilah!


NB:Rintihnya tersebar selebar tujuh desa

Dan di ujung setiap rintih diserunya


πŸ‘©-Samijo! Samijo!samijo!


NB:Bulan akan berkerut wajahnya

Dan angin takut nyuruki atap jerami

Seluruh kandungan malam pada tahu

Roh Sumilah meratap dikungkung rindunya

Pada roh Sumijo kekasih dengan belati pada mata.

Dan sepanjang malam terurai riwayat duka

Bagini mulanya:


NP:Bila pucuk bamboo ngusapi wajah bulan

Ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya

Dengan kembang-kembang api jatuh peluru meriam pertama

Malam muntahkan serdadu Belanda dari utara


NB:Tumpah darah lelaki

O kuntum-kuntum delima ditebas belati

Dan para pemuda beibukan hutan jati

Tertinggal gadis,terbawa hijaunya warna sepi


NP: Demi hati berumahkan tanah ibu

Dan pancuran tempat bercinta

Samijo berperang dan mewarnai malam

Dengan kuntum-kuntum darah

Perhitungan dimulai pada mesiu dan kelewang


NT:Terkunci pintu jendela

Gadis-gadis tertinggal menaikkan kain dada

Ngeri mengepung hidup hari-hari


NP:Segala perang adalah keturunan dendam

Sumber air pancar yang merah

Bebungan berwarna nafsu

Dinginnya angina pucuk pelor, dinginnya mata baja

Reruntuklah semua merunduk


NB: Bahasa dan kata adalah batu yang dungu


NT:Maka satu demi satu meringkas rumah-rumah jadi abu

Dan perawan-perawan menangisi malamnya tak ternilai

Kerna musuh tahu benar arti darah

Memberi minum dari sumber tumpah ruah

Nyawanya kijang diburu terengah-engah


NP: Waktu siang, mentari menyadap peluh

Dengan bongkok berjalan, nenek suci Hassan Ali

Di satu semak menggumpal daging perawan

Maka diserunya bersama derasnya darah:


πŸ‘¨-Siapa kamu?


 πŸ‘©-Daku Sumilah daku mendukung duka!

Belanda berbulu itu membongkar pintu

Dikejar daku putar-putar sumur, tapi kukibas dia


πŸ‘¨-Duhai, diperkosanya dikau anak perawan!


πŸ‘©-Belum lagi! Demi air daraku merah, belum lagi!

Takutku punya dorongan tak tersangka

Tersungkur ia bersama nafsunya kesumur


πŸ‘¨-O tersobek kulitmu lembut berbungakan darah

Koyak-moyak bajumu muntahkan dadamu

Lenyaplah segala kerna tiada lagi kau punya

Bunga yang terputih dengan kelopak-kelopak sutra


πŸ‘©-Belum lagi! Demi air daraku merah: belum lagi!


NT: Demi berita noda teramat cepat karena angina sendiri

Di mulut tujuh desa terucap Sumilah dan nodanya


NB: Dan demi berita noda teramat cepat karena angin sendiri

Noda Sumilah terpahat juga di hutan-hutan jati

Lelaki-lelaki letakkan bedil kelewang mengenangnya

Dan Samijo kerahkan segenap butir darah

Lebih setan daripada segala kerbau jantan


NP: Bila dukanya terkaca pada bulan keramik putih

Antara bebatang jati dengan rambut tergerai

Sumilah yang malang mendamba Samijonya

Menyuruk musang, burung gandil nyanyikan balada hitam

Satu tokoh menonggak di tempat luang

Dan berseru dengan nada api nyala:


πŸ‘¨-Berhenti! Sebut namamu!


πŸ‘©-Suaramu berkabar kau Samijo, Samijoku


πŸ‘Έ:Daku Sumilah yang malang, Sumilahmu


πŸ‘¨-Tiada kupunya Sumilah. Sumilahku mati!


πŸ‘©-Belum lagi, Samijo! Aku masih dara!


NT: Bulan keramik putih tanpa dara

Warna jingga adalah mata samijo  menatap dan menatap amat tajamnya


πŸ‘© Padamkan jingga apimu, padamkan!

Demi selaput sutraku lembut: belum lagi!


NT:Bulan keramik putih bagai pisau cukur

Sayati awan dan malam yang selalu meratap

Samijo menatap dan menatap amat tajamnya


πŸ‘© -Samijo, ambil tetesan darahku pertama

Akan terkecap daraku putih, daramu seorang


NT: Batang demi batang adalah balutan kesepian

Malam mengempa segala terperah sendat napas

Samijo menatap dan menatap amat tajamnya


πŸ‘©-Samijo, hentikan penikaman pisau pandang matamu

Kau bantai daku bagai najis, mengorek dena yang tiada

Padamlah! Padam kemilau yang menuntut dari dendam


πŸ‘¨-Jadilah perempuan mandul kerna busuk rahimmu

Jadilah jalang yang ngembara dari hampa ke dosa

Aku kutuki kau demi kata putus nenek moyang!


NT: Tanpa omong dilepas tikaman pandang penghabisan

Lalu berpaling ia menghambur ke jantung hutan jati

Tertinggal Sumilah digayuti koyak-moyaknya


NP: Sedihlah yang bercinta kerna pisah

Lebih sedihlah bila noda terbujur antaranya

Dan segalanya itu tak’kan padam


NT: Kokok ayam jantan esoknya bukanlah tanda menang

Adalah ratap yang juga terbawa oleh kutilang

Karena warga desa jumpai mayat Samijo

Nemani guguran talok, depan tangsi Belanda


NB: Merataplah semua meratap

Kerna yang mati menggenggam dendam

Di katup rahang adalah kenekatan linglung tersia


NT: Kerna dendamnya siksa air matanya terus kembara

Menatap kehadiran Sumilah, dinginya tanpa percaya

Dan Sumilah jadi gila, terkempa dada oleh siksa

Gadis begitu putih jumpai ajalnya di palung sungai


πŸ‘¨Sumilah! Sumilah!sumilah!


NB: Tubuhnya lilin tersimpan di keranda

Tapi halusnya putih pergi kembara

Rintihnya tersebar selebar tujuh desa

Dan di ujung setiap rintih diserunya:


πŸ‘©-Samijo! Samijo!samijo!

Matamu tuan begitu dingin dan kejam

Pisau baja yang mengorek noda dari dada

Dari tapak tanganmu angin napas neraka

Mendera hatiku berguling lepas dari rongga

Bulan jingga, telaga kepundan jingga

Ranting - ranting pokok ara terpenjara dan ragu segala jingga

Hentikan, Samijo! Hentikan, ya tuan!


NB : Narasi dibaca bareng (kita berdua)

NT: Saya

NP : Anda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI AKU YANG HAMPIR MENYERAH

Kamu Tidak Harus Menjadi Seseorang

izinkan aku bahagia Karya Pengagum