SEBATAS MEMINJAM 1

10 Puisi Cinta Romantis Untuk Ungkapkan Rasa Sayang | Indozone.id
 (Bagian 1)

Prolog 🙍‍♂️

Detik jam menggelayut satu persatu pada gulita. Malam itu, sebuah pertemuan tercipta dari tulang-tulang yang tak genap jumlahnya.

Sang Dewi mengetuk pintu, mempermisikan dirinya agar diizinkan duduk menyana. Penyair berwarna abu bergeming diketukan satu, lalu menyahut memberi seru. Dengan ragu, Sang Dewi tersenyum sambil menangkupi sayap patahnya, sedangkan penyair berjinjit mengira-ngira adakah cahaya yang mungkin bisa dipinjami pada rumahnya.

Nona: Terimakasih kursinya Tuan. Perkenalkan, saya Derana.

Tuan : Sama-sama, Nona. Telah kuperhatikan dari tadi, pada hembusan udara yang kau hirup. Denyutnya memberikan afeksi yang membuatku terengah. Entah perasaan gelisah apa yang bersemayam di jiwamu. Berkenankah kau ceritakan Nona?

Nona: Haha, terimakasih atas pertanyaannya Tuan. Tapi aku baik-baik saja. Hanya sayap ku yang patah sebelah. Bukankah rumahmu yang lebih terlihat tak ada bahagia? Adakah gundah Tuan yang dibagi meski setengah?

Tuan: Maaf, aku lupa memperkenalkan diriku.
Perkenalkan, aku sosok jiwa yang kerap merangah dapat juga berubah menjadi begitu lemah. Hanya tergantung bagaimana seseorang memperlakukanku.

Aku laki-laki tangguh, dengan kepala yang keras, sedikit senyum, sedikit berbicara. Walau begitu, aku adalah laki-laki yang romantis.

Rumahku memang sepi, bermuram durja. Tetapi aku memiliki lagu yang dapat menakihkan sedikit gundah di dalam hatimu. Iramanya sendu, harumnya memabukan, lantunannya menghanyutkan.

Aku memang tidak biasa membagikan isi di dalam kepalaku kepada siapapun. Aku tidak cukup hebat menarasikan resah, serta luka-luka yang membentang. Tetapi kali ini, akan kucoba. Bukan semata-mata karna kau yang meminta.

Aku akan berbicara sedikit tentang lautku. Lautku gelap. Birunya melebam, ombaknya tinggi, arusnya deras. Sehingga banyak sekali campang yang patah karenanya. Aku rumit Nona, bahagianya sedikit, sedihnya lebih banyak. Susah untuk merasa cukup. Di setiap palung-palungnya terbuka lebar. Wajar saja kau hanya melihatku sendirian sebatang kara. Sebab tidak ada satupun yang sanggup membentangkan sabar untuk samuderaku yang terjal.

Lalu, bagaimana dengan dirimu Nona?

Nona: Ah, pantas saja terlalu sepi di sini. Sebab Tuan adalah badai itu sendiri.

Bagiku, aku hanyalah aku Tuan. Yang bisa berubah, menjadi apa yang orang-orang mau. Begitu banyak wajah, hingga mungkin aku tidak tau lagi, mana di antara satu yang menjadi sebenarnya.

Tidak ada yang terlalu dari aku, hanya takdirku yang seringnya tak bersahabat dengan cara berbahagia. Karena itu, aku sudah menjadi biasa. Aku makhluk kuat. Tidak dicipta untuk mengeluh. Tidak pula mengenal apa itu rapuh.

Hanya saja jika ditanya, warna kesukaanku biru. Suka pula melukis, meski lebih banyak suka mengubur sendu.

Taukah kah Tuan? Kali ini, setelah melihatmu, aku ingin berubah menjadi batu. Yang tak hempas diterjang tiupmu. Tak hilang serupa debu. Hantamlah aku, mungkin ada beranda yang bisa membuatmu melupa pilu.

Tuan : Manusia menelan diri mereka sendiri Nona. Membusung kata sabar, menimpal kata kuat. Di saat kepalan tangan bersujud, mantera-mantera permohonan dirapalkan. Langit seolah bungkam, badai semakin menerjang, tak banyak yang menyalahkan, serta merendahkan kedaulatan Tuhan.

Kau bisa saja merefleksikan dirimu seperti apa, berwujud apa. Namun kau tidak bisa menyembunyikan raksi lara. Mulutmu memilih diam, tetapi gelagat resahmu masih mengisyaratkan. Berlagak hatimu damai, padahal sedang bersembunyi dari pikiranmu yang ramai.

Tidak apa-apa Nona, dari awal telah kupersilahkan kau untuk masuk. Akan kupastikan menjamu mu selayaknya manusia.

Nona: Tapi tidak pernah ada yang berkata padaku bahwa aku manusia Tuan. Kenapa pula tiba-tiba kau berkata demikian?

Asing kata-kata itu menyambar di telinga. Ingin sekali aku membagi percaya, tapi tampaknya itu lebih ilusi dari dongeng pelangi dengan ujungnya.

Sudah sedari dulu tidak pernah ada yang memanusiakan aku, maka itu, aku bukanlah manusia.

Tuan:  Bara sudah mulai menunjukan permainya, api-api menyambar, dewi bulan telah bekerja dengan caranya. Kupetik indera dari iba ku menyambutmu.

Kau terluka, kau terkulai, kau tak berdaya. Kau manusia!

Sekali lagi kukatan kau juga manusia!

Asing di telingamu, sangat dekat di mataku. Mendekatlah kubisikan hal yang lebih indah dari setiap dongeng, juga hikayat yang pernah kau dengar. Kuhadirkan sutra pada keras hatimu yang terlalu mengasihani diri.

Hei Nona, kau berharga, kau cantik, kau juga hebat. Hanya saja, kau terlalu lama tersesat di hutan rimbun pada awan mendung yang menyelubungi matamu untuk memandang.

Nona: Lalu, aku manusia yang bagaimana?

Bisakah aku menjadi anak kecil yang diperbolehkan bermain sepuasnya? Bisakah aku menjadi gadis yang menangis saat tersakiti hatinya? Bisakah aku menjadi wanita yang utuh mencintai kekasihnya?

Bukankah itu terlalu memaksa Tuan?

Bagaimana boleh aku berharap demikian? Bahkan tidak ada yang bersedia menjadikan aku teman bukan?

Tuan: Aku Tuan atas rumahku sendiri, aku juga berdaulat atas seluruh hidupku, aku bukan budak, aku merdeka. Tidak perlu kau tanyakan hal seperti itu Nona. Tentu akan ku berikan seluruh meski kau hanya singgah tidak untuk sungguh.
Aku siap untuk kau berantaki, aku juga siap membalut setiap luka-lukamu.

Keterbukaan adalah awal dari pemulihan. Kau sedang tidak memaksa, kau hanya berusaha menjadi apa adanya. Pada akhirnya kau pentaskan seluruh setiap inginmu yang telah lama membisu.

Nona: Benarkah boleh Tuan? Benarkah aku boleh merasa tak sendirian?

Janganlah kau terlalu beromong besar Tuan. Aku sudah terlalu lama berpenyakit. Terlalu kronis untuk kemudian diberi sembuh. Dadaku membuncah, tapi kepalaku rasanya mau pecah. Antara rasa atau logika, mana yang harusnya aku percaya?

Aku tidak mau diperdaya!

Bagaimana jika kali ini juga tak berhasil?
Bagaimana jika kelak kau juga hilang?
Bagaimana jika kemudian kau juga pergi meninggalkan?

Coba katakan, di masa depan, apakah yang bisa aku pegang selain jari-jari yang kukunya hilang apabila lara kembali terulang?

Tuan: Burung-burung punya sangkar, serigala mempunyai liang. Begitu juga dengan kau Nona. Jangan pernah lagi merasa sendirian, aku ada di setiap hembusan napasmu yang berpijar.

Sebab, hanya orang sakit yang membutuhkan tabib, hanya orang buta yang butuh pemandu. Aku memiliki obat dari setiap luka-lukamu. Kau tidak perlu percaya pada keduanya, kau hanya perlu terus berjalan untuk melangkah ke depan.

Kini aku mengerti, apa yang membuatmu sulit untuk bahagia? Itu karna kau terlalu mengijinkan rasa takut di dalam dirimu untuk terus mengintimidasi.

Tidak ada yang memperdayaimu, kau hanya tersesat di pikiranmu.

Hei, janganlah kau khawatir akan hari esok, karena hari esok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.

Genggamlah tanganku, akan ku bawa kau kepada langit yang baru dan juga bumi yang baru.

Nona: Tolong jangan kecewakan

Tuan: Aku baru saja memulai

Nona: Bantu aku percaya bahwa aku juga manusia

Tuan: Maka biarkan aku datang untuk merangkulmu

Nona: Aku ingin tidur dalam dekapan

Tuan: Bersandarlah di dadaku

Nona: Tanganku jangan lepaskan

Tuan: Genggamanku tidak hanya satu

Nona: Apakah tertawa juga aku diperbolehkan?

Tuan: Aku tidak akan membiarkanmu menjadi bisu

Nona: Namun, bagaimana jika aku terlalu membawa banyak beban?

Tuan: Kemarilah, dan bagikan. Aku telah siap untuk memangku.

Nona: Meski kelak aku datang dengan sesegukan?

Tuan: Menangispun akan aku tunggu

Nona: Penuh amarah yang menghanguskan?

Tuan: Bakarlah diriku

Nona: Nanti kau kepanasan

Tuan: Itu urusanku

Nona: Bebal benar kau ini, Tuan. Nanti kau bisa jadi hilang pikiran!

Tuan: Ini pilihanku! Aku siap jika nanti berakhir pilu

Nona: Rumahmu akan semakin temaram

Tuan: Aku tidak akan ragu

Nona: Baiklah, aku menyerah. Aku lelah.

Tuan: Istirahatlah, hari-harimu sudah cukup merasakan sendu

Nona: Peluk aku

Tuan: Aku di sisimu. Tidurlah, kuselimuti kau dengan rangkaian janji. Juga ijinkan mataku menyusul dalam diaroma peluk, sungguh tidak ada degup yang selantang ini.

Semuanya akan kembali baik-baik saja Nona.


—Sebatas Meminjam
 17/09/22


Lingga Annar & Derana Reva

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI AKU YANG HAMPIR MENYERAH

izinkan aku bahagia Karya Pengagum

Kamu Tidak Harus Menjadi Seseorang