SEBATAS MEMINJAM 2
Bagian 2 (Epilog)
👩🏻
Derai tetesan hujan melingkupi pagi yang mencari jalannya. Penyair berwarna abu terbangun, napasnya sibuk mengeja kata apa yang tepat untuk disampaikan.
Suasana tegang menjadi ornamen untuk tirai yang pecah terbelah. Tatapnya sibuk mencari huruf mana yang harus ia panggil untuk menakihkan gelisahnya. Sedang jarum panjang pada pukul 7 terus berbunyi. Suaranya membunuh, nadanya mendung, iramanya murung. Sunyinya menghakimi. Membiarkan dua manusia berkalang tanah.
Kemudian di panggung lain, kicau burung bersiul pada nada sumbang menata instrumen pengiring hikayat. Mimiknya terlihat pucat, badannya lunglai, membungkuk. Terkatung-katung sibuk mengundang peran apa yang belum hadir.
Sebenarnya, Sang Dewi mengetahui skenario apa yang akan dipentaskan.
Tuan: Tibalah dimana kita akan bertolak kepurata. Pertemuan singkat titipan sang masa telah sampai pada penghujungnya.
Nona: Sampaikan saja yang jelas apa maksudmu Tuan. Tak perlu bermanis kata.
Tuan: Sebuah awal yang begitu asing bagi kita di pertemukan Tuhan dalam naskahnya. Sudah cukup dialog-dialog gelap yang mengartikan keterpurukan. Hadirku sementara, tibalah saatnya kita berpisah.
Nona: Sudah kuduga akan perkataanmu ini Tuan. Peluk yang tak hangat serta kecup tak lengkap dari hari lalu telah memberi isyarat. Bila aku bertanya mengapa, akankah kau memberi jawabnya?
Tuan: Kepada yang lalu, maafkanlah segala sikap. Tentang rangkaian janji yang teringkari. Tolong relakan, tolong ihklaskan. Aku hanya tidak ingin kau merasa sendirian. Aku hanya membantumu meramut pilu, membasuh luka, meredam sedikit gundah.
Nona: Hanya? Dari hari-hari yang kita jalani bersama. Serta janji dan tawaran bahu yang kau paksa untuk dulu aku terima. Sungguh begitu mudahnya kau meminta padaku sebuah rela?
Kita terlalu lama bersama untuk berdua menelan pahit dan mengukir biru pada tubuh masing-masing. Aku kukuhkan tubuhku untuk tak rubuh saat kau berulang kali mendorong aku jatuh. Aku pegang janjimu lebih kuat dari kasihku pada diriku sendiri. Kau kira, mengapa rela bisa seringan itu?
Katakan, katakan kembali! Apa kurangku?
Tuan: perkara selesai atau memulai, telah kulapangkan sabar untuk berdamai. Perpisahan adalah ritual tanpa janji tapi mengikat. Nona, kau sama sekali tak ada kurangnya. Tak perlu terlampau jatuh, tak perlu terlampau runtuh. Segala hal dibumi ada masanya, ditinggalkan adalah bentuk risiko dari prolog pertemuan yang kita iyakan bersama.
Nona: Tak ada pertemuan yang benar-benar ku iyakan Tuan. Kau cekoki aku dengan mimpi banyak waktu bahagia, yang akan kita raih saat bersama. Sungguh benar itu terjadi di awalnya. Kita menangis untuk luka yang sama, lalu tertawa untuk lelucon yang bagi orang lain tak ada lucunya. Saling menjaga percaya, menghawatirkan satu dengan yang lainnya. Bukankah kita pernah begitu paripurna sebelum kau bawa retak menjadi rentetan kedatangan akan pecahnya percaya?
Katakanlah sejujurnya, bahwa bukan masa yang menjadi masalah. Sebab selama-lamanya adalah hitungan waktu yang pasti jua dalam semesta. Jadi, kali ini mengapa? Hati lain mana lagi kini yang benar-benar kau incar dan ingin kau jaga?
Rasanya memang benar, pertanyaan ku salah. Bukan kurang milikku yang jadi jawabnya. Bukan. Tapi hasratmu yang tak kenal sudah.
Tuan: Nona, sebenarnya kau sendiri tahu, masing-masing kita adalah frasa yang memiliki daulat untuk memilih pada siapa kita menghadirkan peluk. Kepada siapa kita melepas iba. Semuanya berjalan dengan intuisi.
Tak cukup teori untukku jelaskan, atas senarai pertanyaan yang kau lontarkan. Berbagai cara telah kucoba untuk menjadikan kita lebih ideal.
Sampai pada babak cinta yang lebih gila kita jalankan. Tentang luka yang menjadi alasan untuk tetap bertahan.
Namun ironis, simpul padaku tak sekuat yang kubayangkan.
Hingga daya ikat yang menggenggammu erat perlahan terlepas dari porosnya.
Sudah dari awal aku katakan Nona, samuderaku terlalu terjal, lautku terlampau luas. Untuk menjadi aku tak semudah apa yang kau pikirkan. Jika kau asumsikan pamitku karna mencari peruntungan yang lain. Maka kau salah besar Nona.
Nona: Tak pernah ada yang mudah menjadi siapapun Tuan. Tidak menjadi aku, ataupun kau. Namun tampaknya larimu pada pertengahan jalan adalah hasil gagal dari perhitungan mu dahulu terhadap masa depan.
Sudah pula dari awal kugaungkan, bahwa cahayaku tak perlu ada pengisi dayanya. Namun dengan lebih gelegar kau gelar rayu-rayu hangat yang akan menjadi milik selamanya bila kita bersama.
Lihatlah kini, siapa yang meludahi sendiri lontaran janji-janji? Dengan begitu mudah kau minta aku mengamini langkahmu pergi. Tidak. Sungguh tidak akan pernah restu ini kuberi.
Meski ku akui, bahwa belakangan, amarah lebih banyak menjalar di antara debar. Wibawa yang tak lagi rimbun untuk dijadikan singgasana sebuah tempat teduhan.
Kata usai yang telah berkali-kali kau gelar adalah pangkal yang menjauhi akar. Kau begitu menjulangkan ego saat perbaikan demi perbaikan sedang berusaha aku jalankan. Sabarmu begitu sedikit, sebab lapang sudah kau alihkan untuk menampung banyak wajah-wajah lain.
Begitu bukan?!
Tuan: Nona, kubukakan pintu selamat datang untukmu masuk, bukan berarti aku mengaminkan segala inginmu. Bukankah telah ku-uraikan satu persatu pada kusutmu yang menjalar hingga sesak di pernapasanmu.
Memberi cahaya pada lorong gelap yang menelanmu di malam-malam sunyi saat kau takut untuk merasa sendirian.
Merapalkan satu, dua hikayat serta sajak pengantar tidur.
Saat itu kau memang tak meminta untuk kulakukan.
Tapi coba katakan,
Adakah perjuangan yang datang dengan sebuah permintaan? Cinta berkerja di luar nalar terlampau luas, tak bisa kau kukuhkan dalam satu lingkaran. Ia bisa mendatangkan hal-hal yang bahkan tak pernah kau harapkan.
Nona, manusia itu egois. Mereka hanya ingin pelanginya saja, tidak ingin hujannya. Sulit untuk merasa cukup, buas yang bahkan mustahil untuk dijinakan. Terlalu naif dan gila jika kita berkeyakinan paling sempurna dari yang lainnya.
Apa yang kau katakan itu ada benarnya Nona, aku telah kehilangan banyak kebijakan di dalam diriku. Sabar yang tak cukup lapang lagi untukku tempiaskan. Terlalu kecil untuk diharapkan terlalu sebentar untuk menemani, bahkan terlalu sementara untuk didijadikan rumah selamanya. Jadilah rumah terbaik untuk dirimu sendiri Nona.
Dan tampaknya sudah saatnya kau belajar dari pohon yang tegas menggugurkan daun keringnya. Ia merelakan serta mengihklaskan, sebab iya tau betul yang hilang akan tergantikan.
Nona: Baiklah, bila itu maumu, akan kuseret paksa segala remuk dan patah. Kuhilangkan apa-apa yang tersisa dari seluruh cerita bersama. Tak kan kau temukan satupun tanda-tanda tentang kita di hari depan. Karena akan terus kuberi makan seluruh egomu meski kini tak lagi mau diajak mengulang.
Pergilah menjauh. Carilah senang yang bukan aku. Dan jangan sekali-kali menoleh lagi ke belakang. Sebab mungkin aku masih akan akan tertinggal.
Jangan pernah berpikir untuk kembali pulang. Aku bukan lagi rumahmu, jangan tetap berharap kau akan kuberi nyaman. Jangan lagi datang untuk minta ditenangkan. Mulai dari sekarang, akan kuambil kembali seluruh jatuh yang aku beri dengan seluruh nyali. Pula tentang bahagia, kau takkan lagi aku bagi.
Kita akan menjadi asing sebelum aroma kama hanya tinggal lapisan-lapisan tak kasat karsa. Biarkan atom-atom semesta merubahnya menjadi karbon monoksida. Tapi aku tak berharap kau mati saat menghirupnya. Cukup kau tersiksa. Dengan demikian, akan kau dapatkan seluruh rela yang kau minta paksa.
Bagaimana?
Tuan: Kurasa cukup untuk kau membentur perbandingan yang tak ada ujungnya, menarasikan luka serta kekecewaan yang kau asah ujung belatinya. Kau tikam aku dengan kata kutuk, aku terima Nona, sekalipun dagingku habis lenyap.
Janganlah kau datang lagi di hari esok untuk menjajah serta menuntut janji. Semua nya cukup tumpah serta meruah di sini. Bait-bait penyusun romansa tentang kita telah teralih.
Biarkan epilog bekerja dengan caranya. Entah aku yang terlalu hiperbola atau kau yang terlampau disforia.
Demi Tuhan, aku bersaksi untuk keterakhir kalinya. Kudekelarasikan kepergianku. Ku umumkan pada seluruh penjuru bahwa sajak ini telah selesai, juga kisahmu yang telah usai.
Nona: Sungguh kau tak punya rasa iba!
Tuan: Sebab kau tak sanggup menerima!
Nona: Janji yang kau tebar di mana-mana, berakhir luka yang kau paksa terima? Sudahkah kau hilang jiwa?
Tuan: Aku sudah memperingatimu di jauh hari, agar jatuhmu tak terlalu dalam, agar percayamu tak sia-sia menyelam. Maaf jika sebenarnya bumiku tandus, tak sehijau ceritanya, tak semanis kelihatannya.
Nona: Bagaimana kau begitu tega seolah-olah aku bukanlah manusia? Kau pikir aku mampu mengatur apa yang disebut cinta?
Bila pun aku tau akhirnya begini menyandang derita, menyapamu pun mungkin aku tak akan pernah! Terlalu manis lidahmu dengan seluruh tipu daya, hingga melainkan kau jaga, untuk percaya pun kau minta untuk tak terlalu menyia-nyia.
Tuan: Jangan hanya karena satu-dua kesalahan, segala hal baik yang pernah kau cicipi kau lupakan Nona. Apakah untuk menjadi manusia hanya untuk menerima rasa manisnya saja, kemudian menolak yang pahit? Tidak ada yang bisa mengatur hal-hal yang di luar kemampuan kita Nona. Tangan kita cuman dua, menggenggam sebisanya.
Hadirku hanya sebatas meminjam, tidak untuk selamanya.
Nona: Ya benar, hanya meminjam. Untuk kemudian kau pinjamkan kembali dirimu dengan yang lainnya kan? Kau manusia jahat. Brengsek!
Tuan: Setiap pertemuan akan ada perpisahan bukankah itu sudah menjadi siklus kehidupan. Manusia datang silih berganti. Mau sampai kapan kau menyangkal diri? Silakan mencaci semaumu!
Nona: Lagi-lagi kau sangat mahir berdalih. Sungguh, mencintaimu adalah hal yang paling aku benci dan sesali!
Tuan: Aku tidak menyesal sekalipun. Kumaklumkan apa yang kau ungkapkan sebagai bentuk dari kekecewaan.
Nona: Karena di sini kau lah tersangkanya. Yang harusnya menjadi penanggung jawab seluruh cerita. Baik mulai yang kau paksa, maupun usai yang kau putuskan dengan sendirinya.
Tuan: Kau berhak untuk mengaggungkan logikamu. Aku juga menerima dengan lapang sekalipun kau memberikanku predikat laki-laki yang egois.
Nona: Sesungguhnya seperti ini aku lelah. Aku hampir gila!
Tuan: Tidak ada yang mudah
Nona: Aku pasrah, pergilah
Tuan: Sudah seharusnya kau menyerah
Nona: Benar, memaksamu yang bebal untuk tinggal, sungguh tak ada baiknya. Menjauhlah, hilang dan jangan lagi pernah meminta kembali apa yang telah kau lepaskan.
Tuan: Seperti pada awal perkenalan kita, aku adalah laki-laki yang keras kepala. Maaf karna telah memberimu luka
Nona: Selamat tinggal. Semoga kelak kau tak dihinggapi terlalu banyak sesal.
Tuan: Baiklah, kita telah sama-sama meresmikan perpisahan. Akan kusimpan kau sebagai bagian terbaik dari kata temu.
Nona: Tidak, tak ada yang telah ku resmikan. Bukankah bila yang terbaik, seharusnya kau tetap tinggal?
Tuan: Maka aku akan egois menanggalkan kita menjadi tunggal. Aku pergi, Nonaku sayang.
—Sebatas Meminjam (Epilog)
11/12/22
Lingga Annar & Derana Reva
Komentar
Posting Komentar