Ruang Dimensi Cerpen karangan : Garis Hitam
Ruang Dimensi
Cerpen karangan : Garis Hitam
Dan pada akhirnya, kita hanya sebatas kisah dalam ruang dimensi penuh fana tak berarah.
Aku masih tak mengerti, mengapa perasaan ini tumbuh sedangkan raga tak saling menyapa. Aku masih tak mengerti mengapa jatuh hati kepadanya kini hanya sebatas mimpi di ujung hari. Aku tak mampu, dengan jarak dan keresahan jiwa yang kian melanda, dan tetap saja, aku masih merindukannya, pada seseorang yang belum pernah sekalipun bertemu.
Sebutlah aku; "kecewa", pada gapaian mimpi serta perasaan yang tak mampu tergenapi. Pada sepotong hati yang selalu berusaha menyatukan rasa saling mengisi. Pada satu rasa yang kini hilang ditelan masa.
Pada malam pertengahan bulan desember, aku dipertemukan dengan dirinya di suatu aplikasi obrolan yang digandrungi semua orang. Di sana, tempat orang-orang mengapresiasikan dirinya di dunia maya.
Aku masih ingat, aku bertemu dengan dia di ruang imaji penuh aksara indah yang menarikku untuk menari dengan imajinasi otak kananku. Kita saling bertegur sapa, saling bersahut ria, hingga membicarakan perihal KITA.
Sedikit berlebihan memang, seseorang yang belum pernah sekalipun bertemu bisa dengan lancang mempunyai perasaan kepadanya. Sebutlah ia "kenangan", seseorang yang mampu mengajakku ke dalam dimensi nalar tak berujung. Dia sosok yang menghangatkan, dengan tindak tanduknya yang begitu menawan. Seseorang dengan suara merdu, penyentuh hati di kala hati ini sedang merasa kesepian dengan kehidupan yang menjenuhkan perasaan.
Masih teringat dengan jelas, begitu banyak kenangan menarik hingga hati ini melirik masa lalu yang membuatku malu untuk merindu. Ketika malam-malam berlalu, bersama pancaran sinar rembulan serta suhu dingin yang menyuruhku menarik selimut untuk mendapatkan kehangatan.
Banyak lika-liku perjalanan yang membuatku semakin tertarik pada sosoknya yang begitu sederhana, ia memberikan kebahagiaan yang belum pernah sekalipun aku rasakan sebelumnya. Tawa, canda serta untaian kata-katanya seakan meninggikanku ke dalam analogi perasaan yang begitu sangat aku dambakan.
Percakapan kecil yang mendorongku berkali-kali merindukannya. Perasaan yang semakin hadir memberikan hasrat untuk aku ingin bertemu dengannya; meskipun hanya sekali.
Tapi ternyata semesta tak berpihak kepadaku, lagi-lagi Ia becanda dengan perasaanku, sesuatu yang membuat cakrawala memanggil hujan hingga jatuh di kedua pelipis mataku. Hingga memburamkan kedua bola mataku sekedar melihat apa aku masih baik-baik saja; tentunya tidak.
Aku masih ingat pada malam itu ia berpamit, dengan rangkaian kata-kata yang menghujam jantungku, pada dinding kamar dan kesunyian malam yang membuat sembilu semakin haru. Aku masih ingat dialog sendu bersamaku saat itu.
"Terimakasih ya, sudah mau berteman denganku sampai sejauh ini, terimakasih juga atas perhatian dan kekhawatiran yang pernah kamu berikan kepadaku dengan sungguh". Ucapnya dengan suaranya yang begitu menentramkanku.
"Sama-sama, aku juga mau berterimakasih padamu, sudah mau dengan rela berbagi cerita denganku meski hanya di dunia maya" ucapku kepadanya dengan perasaan sedikit kecewa.
"Kamu akan selalu menjadi yang terbaik di tempat ternyaman dalam hatiku, hanya saja kita memang hanya sebatas angan, dengan dua hati yang tak dapat disatukan keadaan. Kita hanya sebatas teman dalam ruang tak bergeming yang dahulu sempat tuaikan rasa bersua suara". Ucapnya dengan nada tersedu-sedu.
"Semoga kita bisa bertemu di dunia nyata, semoga kita merasakan hadirnya raga di pelupuk mata"
"Maaf, sepertinya itu sesuatu yang mustahil, karena bulan depan aku sudah berkeluarga, sedikit kasar memang, aku tak memberitahumu dari awal, tapi beginilah semesta dengan skenario candaannya. Aku harap kamu bisa mendapatkan orang yang jauh lebih baik ketimbang aku yang selalu menyisakkan luka. Orang yang dengan sungguh menjalani hari denganmu, tanpa kebohongan yang saat ini ku tanamkan padamu hingga berujung duka. Dengan rasa bersalah dan penyesalan aku meminta maaf, aku pamit". Ucapnya kepadaku di saat-saat terakhir, ia berucap pamit dan pergi meninggalkanku.
Aku hanya terdiam membisu, mendengar perkataan yang membuat sesak rongga dadaku. Hingga deru nafasku tak beraturan dalam helaannya, hingga debar jantungku tak berirama semestinya, sampai paru-paruku tak dapat mengalirkan oksigen seperti biasa. Hari-hari yang kulalui, malam-malam yang kujalani, serta percakapan yang menguatkan dan perkataan memuji yang menyenangkan. Harus berkahir dengan percuma, tanpa ada lagi harapan yang berujung nyata.
Ketika tidak lagi bersamanya, entah mengapa terasa ada yang hilang dalam hidupku. Aroma serta tetesan hujan seakan menghujam ulu hatiku. Langit lagi-lagi bercanda kepadaku. Rindu yang kutunggu tak mampu lagi menguraiku. Seakan langkah terhenti oleh buaian mimpi penuh ilusi dan seakan lembayung senja kini tidak lagi aku kagumi. Aku sedang mencari letak kesakitan itu berada. Pupusnya harapan dan rasa yang tertinggal kini seakan mati tak bernyawa.
Kini, aku sedang menunggu harapan palsu itu mati dalam nadiku. Terduduk di meja penantian semu di area penghujanku. Setelah usai kujadikan buku kenangan yang menanggalkan beribu sesak pada jejak pengharapanku.
Hingga di antara kenangan dan kecewa. Kini hanya sebatas harapan yang terhenti masa dan disetiap diksi puisi yang mengisi hari-hariku dengannya, hanya menjadi puing kenangan masa lalu yang saat ini kuratapi.
Di persembunyian rahasia; hanya aku dan Tuhan yang tahu. Menyelam lebih dalam mengenai perasaan yang dulu sempat tertinggal. Helaan nafas yang kerap kali terhembus menyisakkan tanya. Hingga konsentrasi terbuyarkan oleh peliknya realita; karena dia, sekarang aku seperti ini.
Aku telah mencoba mengarungi luasnya samudera untuk melupakannya. Lalu tenggelam dan mengikhlaskan ialah keharusanku untuk tetap melangkah maju meski tidak bersamanya Tapi lagi-lagi aku gagal, padahal segala upaya telah kulakukan hingga telah kubunuh secara paksa untuk menjadi seperti biasa.
Lagu-lagu kadang menjadi penyebab kenangan itu kembali atau saat turun hujan yang membuat diri ini mematung. Tapi aku sadar, aku harus menjadi air. Meski membentur bebatuan keras bumi, pada akhirnya akan mencapai pusaran lelah di penghujung setelah.
Aku tidak pernah menyesal mengenalnya, karena aku yakin Tuhan lebih tahu, hikmah apa yang kudapati setelah akhirnya berpisah dengannya. Pernah mencintainya dengan sungguh, bukan menjadi sebuah kesalahan penuh keluh. Karena rasa ini memilih, kepadanya ... hati ini melabuhkan kasih apa adanya.
Dan hingga sampai saat ini, aku masih mencintainya dalam diam, merindukannya dalam kesepian, meski sudah tidak dapat lagi bersua suara dengannya. Aku akan menyimpan "kenangan" di tempat ternyaman yang biasa kusebut dengan cinta.
... dan pada akhirnya, kita hanya sebatas kisah dalam ruang dimensi penuh fana tak berarah.
Bandung, 29 April 2020
Komentar
Posting Komentar