Senandika di Ujung Langit Retak" Puan Cakra
"Senandika di Ujung Langit Retak"
Puan Cakra
__________________________________
Dia :
Apa kabar?
Aku :
Siapa?
Dia :
Kabarmu?
Aku :
Maafkan salah orang
Dia :
Kau masih ingat hujan itu? Bukan yang membasahi bumi, tapi yang jatuh dari mataku—tanpa suara, tanpa tanya.
Aku :
Aku ingat. Tapi aku lebih ingat tanganmu yang menadah hujan yang bukan milikku.
Dia :
Langkahku pernah memeluk jejakmu, tapi kini aku sadar: jejak itu hanya labirin dari kesalahan.
Aku :
Kau berjalan di tubuhku seperti angin yang lupa arah. Dan kini kau bicara seolah tak bersalah?
Dia :
Tak ada yang salah diantara kita
Tempat kita menggantungkan janji masih sama
Aku :
Aku tak pernah menjanjikan langit. Hanya payung kecil agar kita tak basah oleh duka. Tapi kau... kau malah berlindung di bawah pelukanku terlalu erat.
Apakah cinta harus ditambatkan pada satu dermaga?
Aku hanya pelaut. Kau tahu itu sejak awal.
Aku :
Dan kini kau karam. Tapi bukan aku yang akan jadi pelampungmu.
Dia :
Hatiku, masih engkau ratunya
Aku :
Ratu katamu?
Setelah dia yang lebih kau pilih untuk tega meninggalkanku
Dan kini juga ia yang memantulkan bayangmu _meninggalkanmu?
Dia :
Ayolah, berhenti menyalahkanku
Kepergianku kemarin hanya seperti hujan yang mengguyur semalam saja
Lupakanlah
Dan kembalilah untuk menguatkanku
Aku :
Kau ini apa?
Kau ingin kita menjadi apa?
kau ingin aku menjadi apa?
Penari di atas bara?
Penyair yang menulis dendam di jalur langit?
Dia :
Aku ingin menjadi angin di setiap nafasmu
Aku :
Nafas lembut tapi menyesakkan,
menghapus arah, lalu pergi saat fajar datang.
Dia
Aku ingin jadi langitmu yang selalu menjadi tempat naunganmu
Aku :
Langit retak.
Dan aku telah berdiri terlalu lama di bawah badai yang kau bawa
Dia :
Aku ingin menjadi rintik hujan yang menyejukkanmu
Aku :
Hujan yang turun tanpa jeda,
dan aku menggigil di dalam doa-doa yang tak lagi sama dengan
Doa ku untuk mu, tapi doamu untuk senyum yang lain
Bukan untuk senyuman ku
Dia :
Aku tau
Biarkan aku sirami bunga layumu di tamanku
Aku :
Bunga tak tumbuh di tanah yang dikhianati.
Dia :
Aku ...
Aku :
Cukup
Tak usah kau cari aku di antara doa-doa.
Aku sudah menukar lara dengan cahaya.
Terpahat manis namamu di nisan kenangan,
Kutanam mawar hitam penuh duri di atasnya.
Dia :
Apakah tak ada lagi maaf?
Aku :
Maaf hanya milik mereka yang terluka tanpa dibohongi.
Aku melebur luka dengan didikan Pencipta
menunggu yang tahu cara mencintai tanpa dusta.
Dia :
Kau melupakan janjimu padaku
Aku :
Janji yang mana?
Dia :
Tak akan pergi
Selalu disampingku
Aku :
Sudah kupatahkan saat kau berjanji tak akan meninggalkannya
Dia :
Dia juga butuh aku
Aku :
Aku sudah tak lagi membutuhkanmu
Kubangun rumahku untuk lebih kuat—
untuk cinta yang lebih setia,
Untuk yang lebih bersinar
Dia :
Ku pastikan hanya aku yang layak menjadi cahayamu
________________________
Bandung, 10 Juni 2025
Puan Cakra
Komentar
Posting Komentar