AMORFATI

 AMORFATI


Mungkinkah aku mencintai takdir,

yang setiap malam membuatku menangis dalam senyap?

Yang menorehkan luka

di antara tulus dan setia yang kupertahankan habis-habisan?


Mungkinkah aku mencintai kehampaan

yang menjelma jarak di antara dua hati

yang pernah saling janji tak akan saling melepaskan?


Aku bertanya,

karena aku letih.

Aku bertanya,

karena cinta ini seperti pisau yang kujaga

agar tak melukai siapa pun—

kecuali diriku sendiri.


Tapi mungkin…

di sinilah letak cinta sejati,

di tempat paling sunyi,

di persimpangan antara memilih bertahan

atau memaafkan takdir yang tak kunjung adil.


Mungkinkah ada amorfati dalam dunia yang fana ini?


Bagiku "Mungkin". Tapi hanya untuk jiwa-jiwa yang telah menguliti harapannya sendiri,

yang telah berjalan dalam hujan badai dan masih bisa berkata,

"Aku tetap di sini,

meski langit tak lagi biru"


Amorfati…

cinta terhadap takdir,

bukan karena ia indah,

tapi karena aku memilih untuk tetap mencinta, meski yang kupeluk adalah duri.


Aku tidak tahu jawabannya,

tapi jika hari ini aku masih bisa mengatakan

"Aku tetap mencintaimu, meski kau diam,"

"Aku tetap mencintai hidup, meski tak satu pun berjalan sesuai doaku,"

maka mungkin…

aku sudah mulai belajar mencintai takdirku sendiri.


Amorfati-ku bukan lagi tentang pasrah.

Ia tentang menerima kehidupan seburuk apapun bentuknya, sebagai bagian dari keindahan yang utuh. 

Tentang memaafkan takdir yang membuatku menangis,

dan tetap berkata:

"Aku hidup, maka aku mencintai segalanya, termasuk yang menghancurkanku.


Siapa Aku, 

15 Juli 2025, Dini Hari

Ruang Penuh Harap

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI AKU YANG HAMPIR MENYERAH

izinkan aku bahagia Karya Pengagum

Kamu Tidak Harus Menjadi Seseorang