𝗣𝗘𝗥𝗚𝗨𝗟𝗔𝗧𝗔𝗡 𝗕𝗔𝗧𝗜𝗡 𝘎𝘰𝘳𝘦𝘴𝘢𝘯𝘗𝘦𝘯𝘢•`
𝗣𝗘𝗥𝗚𝗨𝗟𝗔𝗧𝗔𝗡 𝗕𝗔𝗧𝗜𝗡
( 𝘱𝘢𝘳𝘵 2 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘯𝘢𝘴𝘬𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘳𝘪𝘯𝘥𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 )
Kamu adalah sepintas yang belum rampung aku selesaikan ceritanya,
Kamu adalah seorang gadis yang aku titipkan segala pengharapan, dan kamu ... ketidakmungkinan yang harus ku relakan kepergiannya.
Kepergianmu dahulu tak pernah aku inginkan, hati pun menolak dengan begitu kerasnya, masih banyak yang ingin aku habiskan bersamamu, banyak harapan yang belum kita wujudkan bersama dan ada banyak sekali kata yang terngiang di bilik-bilik kepala, jutaan tanya tentang kepergian mu yang secara sporadis itu, hingga tak ada satu kata pun yang terlontar saat kepergian mu, yang tanpa kejelasan itu.
Dimana saat itu. Aku harus berfikir, alasan apa yang hendak aku katakan kepada Ibuku, atas janji yang terngingkari, janji menjaga Jingga yang sudah dianggap putri kecilnya,
Ibu selalu antusias ketika aku menceritakan kamu, memarahiku karena menjatuhkan air mata di pelipis matamu, dan memberikan nasehat ketika ego ku sekeras batu.
Namun sekarang harus bagaimana?.
Tutur manja-nya, rengekan-nya hingga atma-nya saja sudah tidak ada, aku melepaskanmu dengan begitu pasrah.
Dimana saat itu, aku juga harus memastikan dan meyakinkan keluarga, kalau aku baik-baik saja di perantauan, juga bertanggungjawab atas ekonomi keluarga.
Aku pun seorang pria yang berdiri di atas kaki sendiri, memperjuangkan segalanya sendiri, menguatkan raga dan jiwa untuk tetap terlihat baik-baik saja di hadapan dunia, bahkan untuk membuktikan rasaku padamu dahulu, aku harus berjuang mati-matian, sampai segala beban kupikul sendirian dan yang pernah aku katakan padamu, aku juga sosok seorang kakak yang bagaimana pun harus terlihat kuat dan tegas, juga mencontohkan segala hal yang baik pada mereka.
Tapi bukan hanya itu saja, kamu tahu apa?.
Dimana saat itu, tidak ada yang sedang baik-baik saja, aku sedang bergulat hebat dengan batinku sendiri, kertas dan pena yang sering menjadi saksi betapa lumpuh otakku ini, banyak yang berkutat seisi kepala, tentang kenapa kepergianmu bisa menjadi begitu nyata, hingga aku kebingungan harus bagaimana, dan bukan hanya itu saja,
ketika aku ingin membawa dirimu ke dalam puisi-puisiku, seperti irama nada yang menyatu dengan begitu syahdu-nya, diksi-diksi yang menggambarkan betapa indahnya sosokmu atau seperti imaji yang selalu ingin aku dekap melewati waktu.
Namun secara tiba-tiba ... Tanpa tau waktu ... Tanpa berpikir panjang ....
Kamu dengan mudahnya berkata sudah.
Kamu memilih untuk menyudahi semunya,
atas apa yang sudah kita lewati bersama.
Hari dimana kita mengukir sebuah cerita yang dulu sering kita habiskan bersama.
Tentang bagaimana rencana di masa mendatang.
Tentang bagaimana mempertahankan kita;
Tentang bagaimana memperjuangkan kita, mendapatkan restu dari orang tuamu.
Aku yang dahulu sedang mengupayakan segala untukmu, meyakinkan dirimu dan memberanikan diriku, untuk menemui kedua orang tuamu, meyakinkan mereka serta untuk diakui ada, dan yang paling utama ... Aku tak mau kehilangan separuh jiwaku.
Namun anehnya, kamu tak memberikan kesempatan itu, dengan alasan,
"Aku tahu sifat Bundaku seperti apa".
Dan ternyata benar saja, aku pun hancur oleh ekspektasiku sendiri, harapan-harapan yang ingin ku wujudkan bersamamu kini telah pupus bersama kenangannya, yang tersisa hanyalah goresan luka yang menganga.
Ini mungkin salahku, terlalu menaruh ekspektasi tinggi dipundakmu jadi ketika semuanya tak sesuai keinginan, aku hancur ... Patah ... Berantakan sendirian ....
Dan lagi-lagi aku harus memulangkan diriku dengan kekecewaan, menetralkan dan memulihkan hati yang dipatahkan, meski itu tak mudah untuk dilakukan.
Tapi harus bagimana lagi aku mempertahankanmu?
Jika pada akhirnya kamu tetap saja pergi.
Setengah mati sudah aku lakukan untuk kau tetap denganku.
Aku keliru, kukira aku mampu tanpamu.
Namun nyatanya rindu ini kian menyeru.
Aku keliru, mengartikan hadirmu yang sementara itu.
Aku mengira kau sungguh-sungguh dalam perkataanmu dahulu, untuk merawat cinta kita dengan sepenuh jiwamu.
Tapi kenapa dalam kesementaraan itu,
kau seperti kekal dalam benakku.
Aku masih saja terjebak dalam sekebat rasa rindu, yang terus memuncak hebat dalam kalbu.
Seakan menarik ku ke masa lalu, yang dahulu menghadiahiku sebuah luka hingga menjalar ke dalam rongga dadaku.
Kenapa bekas kepergianmu, masih menyisakan sesuatu yang sulit untuk aku bunuh keberadaannya.
Belum mampu untuk meniadakan seluruhnya.
Menjadikan aku seperti orang bodoh yang tak tahu arah, akal warasku terbentur dengan hebatnya.
Hingga netra mengalir partikel-partikel kecil dengan begitu lirihnya,
Sebenernya, tidak ada yang benar-benar ikhlas waktu itu, tapi keputusanmu saja sudah diujung lidah, mau sekeras apapun aku menghentikanmu, kau akan tetap saja pergi.
Jadi mau tak mau aku juga harus menuruti kemauan mu kali ini, meskipun hati tak pernah menyetujuinya.
Kisah ceritamu aku jadikan pembelajaran,
ku abadikan sebagai pengalaman dari dua insan yang saling mencintai sebegitu tulusnya, hanya saja takdir tak mengizinkan kita tuk bisa saling bersama, berawal dari dua orang asing yang tak saling mengenal, lalu kembali menjadi orang asing yang memiliki sejuta kenangan.
Pengalaman darimu juga membuatku mengerti dan percaya akan perkataan orang-orang.
Bahwa tak selamanya mencintai harus memiliki, cinta bisa saja dalam bentuk berbeda, merelakan kepergianmu salah satunya, melihatmu berkembang serta bahagia diluar sana.
Akan aku lapangkan dada untuk berdamai.
Biar kedepannya ... tidak akan terulang.
Tak lagi terjatuh ke lobang yang sama, tak bersedih berkepanjangan dan tak lagi terjebak dalam kata 𝘵𝘳𝘢𝘶𝘮𝘢.
Nanti pada akhirnya ... akan aku selesaikan 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘶𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘵𝘪𝘯 ini dengan sebuah kebahagiaan di masa depan.
Dan dimana pun sekarang kamu berada, semoga bahagia dengan siapapun nanti yang berhasil memiliki hatimu.
Terimakasih untuk semuanya; 𝘊𝘪𝘯𝘵𝘢, 𝘭𝘶𝘬𝘢, 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢 𝘴𝘦𝘳𝘵𝘢 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯-𝘯𝘺𝘢.
Terimakasih 𝘑𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢.
> ✎ `°𝘎𝘰𝘳𝘦𝘴𝘢𝘯𝘗𝘦𝘯𝘢•`
𝗧𝗮𝗻𝗴𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗲𝗹𝗮𝘁𝗮𝗻, 𝟭𝟳 𝗝𝘂𝗻𝗶 𝟮𝟬𝟮𝟱
Komentar
Posting Komentar