Dialog Sepasang Senja karyaSi Kang Senja & Senja Kirana Dewi
Dialog Sepasang Senja
Serunai angin seakan mengiringi pergerakan peralihan siang menuju malam yang diperantarai senja. Syahdu... seolah mulai mewartakan kisah tentang dongeng 1001 malam di Kota Tua dengan sejuta keindahannya, agar perlahan seisi kota jatuh dalam buaian.
Sementara di tengah syahdu itu, sepasang senja lainnya memecah hening dengan aksara yang terdengar lamat-lamat.
L : Kepada rindu yang kemarin belum sempat ku semaikan, bila kembali pada peluk yang telah remuk tak kasihankah pada jiwa yang berserak itu.
P : Rindu yang mana yang tengah kau bicarakan, Tuan? Kau berusaha menyemai rindu yang tanpa tuju. Lalu memintaku untuk mengasihani. Sungguh tak masuk akal!
L : Lihat puan. Disini aku masih menggunakan kalimat yang sama, seperti kala kita gaungkan dalam sajak-sajak pengantar tidur itu. Mungkinkah lelap itu, yang membuatmu lupa akan janji yang pernah kita rajut bersama?
P : Tidak Tuan, lelap itu justru menyadarkanku ketika aku terbangun. Bahwa Kebersamaan kita adalah sesuatu yang mustahil. Perihal janji yang pernah terajut itu, lupakanlah. Anggap saja saat itu kita sama-sama sedang terbius aroma cinta yang membuat kita hilang akal di kepala.
L : Cahaya yang sempat padam dibibir malam, kilaumu yang benderang mengusir gusar dari sebuah kata temu. Meski terus meronta di ujung batas dari sebuah kalimat-kalimat yang sering kukutuk setiap harinya. Kau laksana embun, membasuhku tanpa sedikit penyesalan. Tapi, mengapa kini kau merobeknya tanpa persetujuan dariku? Lihat, hanya kata sabar yang meyakinkanku sekedar harap kau tak lekas bergegas.
P : Ah, kau mulai menyalahkan, Tuan. Bagaimana bisa aku meminta persetujuan padamu, jika engkau sendiri masih ragu. Kau masih saja lena pada kisah-kisah yang telah berlalu. Engkau masih tenggelam di dasar rasa pada perempuan terdahulu. Tapi kau berharap agar aku tak lekas untuk bergegas. Untuk apa Tuan? Untuk menjadi mata air yang tugasnya membasuh lukamu? Ironi sekali.
L : Bukankah sedari awal telah ku jelaskan berulang kali. Aku adalah sisa dari potongan luka yang entah bila kembali menemui warasnya.Tapi disini, raga selalu berusaha terus meyakinkan kepada engkau yang ku sebut rindu. Kumohon, basuh dan sirami ia dengan kasihmu yang tulus. Kemarau yang diselimuti gelap dari aroma masa lalu, ingin ku tanggal satu persatu. Namun larimu sepertinya bukan perkara itu. Katakan, apakah pelukmu sudah menemui tuju selain tubuh rentan ini?
P : Berarti benar perkataanku bukan? Tugasku hanya menjadi mata air pembasuh lukamu. Lalu bagaimana jika lukamu sudah sembuh, masihkah akan kau pandang mata air yang penuh tulus itu sebagai sesuatu? Engkau berusaha menanggalkan satu persatu aroma masa lalumu, tapi kau enggan menghidu aroma baru. Tidak Tuan, ini bukan perkara lari menuju ke lain hati, tapi ini tentang sadar diri akan posisi.
Sebagaimana seorang bijak berkata, jangan memulai sesuatu yang baru, sebelum kau selesai dengan masa lalumu. Maka selesaikanlah dulu, Coba berdiskusi dengan hatimu, supaya ikhlas terbit. Tak akan ada ujung jika simpul belum kau tetapkan. Setelah semuanya selesai, rindu akan menuntunmu menemuiku di dimensi yang berbeda, percayalah.
L : Apa setelah kutamatkan, peluk itu bisa kembali kutuai? Lantas bagaimana jika kelak kau pergi seperti yang lalu?
P : Aku tak kan menjanjikan apapun. Tentang bagaimana kelak kedepannya, aku serahkan kepada waktu. Biar waktu yang menjawab semuanya.
L : Puan kalimat itu pernah dilontarkan kepadaku, sebelum akhirnya memilih menanggal dan memasangkan pada wadah yang baru. Lalu ia menyalahkan, sebab aku adalah temu yang tak sesuai rencana. Bukan begitu?
P : Duhai, betapa dasar rasamu masih terperosok terlalu dalam padanya. Kau selalu menjadikannya sebagai pembanding atas segala sikapku. Sepertinya sulit bagimu menamatkan kisah itu ya, Tuan. Sudahlah, aku menyerah. Tulusku jangan dipertanyakan. Tapi jika rasamu masih berkubang padanya, aku lebih baik menepi, karena aku tak sanggup jika harus ikut tenggelam bersama kubangan itu. Aku lebih baik pergi
L : Ti.. ti tidak. Kumohon jangan pergi puan! Kumohon jangan pergi! Aa..aku tidak membandingkan, hanya saja rasanya seperti mustahil kau sebegitu mudah memberi tulus dalam menaruh rasa padaku. Apakah benar-benar layak kuraih sementara jemari seperti tak pantas menerima atas apa yang hendak kau beri.
P : Tidak Tuan, aku tak kan pergi. Aku akan terus membersamai. Hanya saja jika kau belum serta merta menamatkan segala sesuatu tentangnya, aku hanya akan menjadi bayang-bayangmu saja. Barangkali hanya sebagai alarm untuk sekedar mengingatkan jangan lupa makan, jangan tidur terlalu larut, jangan terlalu banyak merokok atau bahkan mengingatkan untuk jangan nakal, sepertinya itu lebih baik ya.
L : Begitukah?
P : Tentu saja.
L : Jadi bisakah kau memulainya?
P : Entahlah.
L : Hahaha hahaha
P : Sudahlah, aku sudah kehabisan kata.
L : Hahaha Pada akhirnya aku tak berhak memiliki siapapun. Bahkan jika itu sekedar dalam angan.
P : Ya, sudah dapat ku tebak Tuan. Kau hanya akan berujung pada sikap pesimismu, dan aku benci itu.
Jika belum mampu mengubur dan memberi nisan pada masa lalu, jangan kau mencoba melahirkan kisah baru.
L : Tebak lah sesuka hatimu puan. Sedari awal kau katakan entahlah. Ketika aku memutuskan menyerah, sekarang kau ungkit kembali masa laluku. Kau sendiri pernah terluka dan mulai menuai keraguan, jadi mengapa kau pertaruhkan segala egoismu demi seseorang yang belum tentu layak untuk kau miliki.
P : Hahaha, lucu sekali
L : Lucu? Kau katakan itu lucu? Alasan apa lagi yang akan kau ungkit kini. Setiap hari kau paksa menerka isi hati yang aku sendiri tak tahu hendak berkata apa.
P : Hei, Tuan sudahlah.
Aku sudah lelah berdebat. Pada akhirnya semua titik salah hanya bertumpu padaku yang kau katakan egois bukan?
Padahal aku hanya mencoba untuk mengingatkanmu, tak ada satu perempuan pun yang rela di banding-bandingkan.
Aku hanya mencoba mengingatkanmu jika ingin memulai kisah bersamaku, kau harus tuntaskan dulu masalalumu. Jika bagimu itu adalah wujud egoku, ya anggap saja begitu.
Tapi jika kau punya cermin, Cobalah kau bercermin. Pantaskah kau memaksa mengundangku masuk kedalam istana hatimu, sementara masih ada perempuan lain yang bertahta disana. Siapa yang egois Tuan? Aku ataukah kau?
L : Puan! apa kau berpikir disini aku hanya diam.Tubuhku juga berjuang mati-matian memapah kembali pada tujumu. Namun selalu gagal menyusun bahasa. Kakiku telah patah, kemudian aku kehilangan arah. Katakan, apa yang harus ku lakukan! Bagaimana caraku kembali menyusun bahasa itu. Ku pikir, setelah kita memiliki luka yang sama kau lebih mengerti apa yang aku rasakan.
P : Keping-keping luka yang sama mungkin pernah kita rasakan dengan cara yang berbeda. Jika kau bertanya padaku bagaimana menyusun aksara untuk membenarkan keadaan kita, maka kau salah besar. Bukan itu masalah utamanya. Aku sudah selesai dengan masa suramku, sementara kau belum beranjak. Tentang dia masih saja memenuhi relung dadamu bahkan pikiranmu. Itulah yang kemudian menyulut bara yang kemudian membakar segalanya.
L : Puan, aku juga tak ingin terluka sedalam ini. Aku juga tak ingin kenang itu terus merasuk isi kepalaku. Ketahuilah, prihal rasa aku pernah mencintai sedalam dan seluas lebih dari apa yang kau bayangkan. Oleh sebab itu, sosoknya begitu sulit untuk ku lupa.Ia berulang kali menyakiti dan aku hanya diam. Sekedar harap kelak akan ada masa untuknya sadar. Namun sepertinya anganku terlampau jauh. Aku dipaksa menyeret semua mimpi, sementara disana dia tertawa dengan bangganya, sebab berhasil menghancurkan hidupku. Aku berantakan, aku tak lagi memiliki tujuan. Lalu kau hadir seolah memberiku kehidupan baru. Aku gagal dalam segala hal, dan kau satu- satunya yang berhasil. Lantas mengapa kini memilih usai, sementara kisah indah belum selesai kita rangkai. Katakan mulai detik ini siapa lagi yang pantas untuk ku pegang teguh janjinya.
P : Begitukah? Baik aku mengerti sekarang. Tapi maaf, aku tetap tak kuasa menjadi yang kesekian didalam hatimu. Sebenarnya kau hanya harus memilih, menamatkan kisah itu dan memulai kisah yang baru bersamaku, atau menyerah dan melepaskan. Katakan Tuan, apa yang menjadi pilihanmu?
L : Baiklah, aku menyerah. Akan ku giring kembali kalimat-kalimat yang ku ucap, sepertinya jalan terbaik adalah menuntaskan masalaluku. Aku pamit, tolong jaga rindu itu jangan biarkan ia mati terbengkalai. Jaga dan rawatlah ia agar kelak saat kau ku jemput tiada kata itu kau ulang kembali. Sungguh tiada peluk yang ku rindu selain engkau puan.
P : Pergilah Tuan. Sebagaimana seorang pertapa, kau butuh waktu untuk memulihkan dan memurnikan perasaanmu. Tenanglah... akan ku jaga dan ku pelihara rindu ini, agar kelak ia akan tumbuh menjadi bunga yang mewangi. Agar kelak harumnya akan kau hirup dalam pertapaanmu dan kemudian harum itu yang akan menuntunmu kembali untuk menjemput cintaku. Selamat jalan, Tuan
*Si Kang Senja & Senja Kirana Dewi*
20/09/2024
Komentar
Posting Komentar