Epitaf Musim Gugur Karya: Aditia Hamza
Epitaf Musim Gugur
Karya: Aditia Hamza
Dari aku, untuknya.
Hari ini, kusebutkan kembali satu nama yang mengetuk ingatan ke dalam aksara. Mewarnainya dengan doa istimewa. Baluti canda tawa serupa kisah romansa para remaja. Sehingga kenangan tentangnya menghampiri, tangis selalu hiasi pelupuk mataku.
Aku masih ingat hari itu, tanggal itu, waktu itu, dan bahkan kejadian ketika aku kehilangan seseorang yang amat aku sayang. Seseorang yang selalu merias tawa, kini pergi bersama mimpi lalu mengukir kisah tunggal musim gugur seolah memintaku temukan penawar luka dalam lukisan waktu. Mengapa lemahku di pijak tanpa peduli raga yang terus meratapi elegi?
Berhamburan kosakata yang habis terjajah terus merangkak dalam pikiranku. Sukma memicu amarah menabrak pandangan hening mengoyak hati. Rasa perih mencari jawaban untuk dipulihkan tapi dipaksa merelakan.
Bukan permohonan ataupun kelemahan, melainkan pengakuan tanpa suara dengan versi diriku yang ingin berdamai perihal kehilangan. Karena sampai saat ini tak bisa ku tafsirkan sebab kekecewaan itu tersirat bukan tersurat.
Semua sudah tak sama setelah suara khas yang kerap kali terdengar telah menghilang. Pergi bersama segala mimpi tanpa harus kembali mewujudkan. Aku mengiklaskannya tetapi selalu disiksa merindukan wajah yang tak bisa kutatap, suara yang tak bisa ku dengar, dan senyum yang tak bisa kulihat.
Kasih... Langkahku terhuyung ketika menuju ke pelataran iklas karena gumpalan luka terus merajamku. Irisan angin terus menyayat setiap rela yang kubentuk. Entah kecewaku terlalu berlebihan atau luka yang ditinggalkan sulit untuk kusembuhkan.
Di balik tirai luka—iklas seakan memahat relung hati di simpang rindu. Napas tersendat mengambang di lautan ketidakrelaan. Bahkan air mata terkapar di helai benang dan membekas pada debu-debu kenangan.
Entah sampai kapan luka-luka yang berkeliaran ini meninggalkan halaman hatiku. Pelangi terus melengkung di ujung mata serupa purnama sinari malam berselimut mendung ketika kupandangi potret berbingkai kembang.
Meskipun aku percaya bahwa Tuhan selalu menyimpan rahasia di satu detik setelah ini. Tapi rindu dan luka selalu berkecamuk hingga bagian terdalam hati diporakporandakan. Kenapa, kenapa tentangnya selalu menahanku di sudut rindu? Aku hanya ingin berhenti bertarung dalam perang yang bukan lagi milikku. Tolong, tolong jangan terus-terusan mengurungku di persimpangan dilema.
Biarkanlah dunia yang menyuarakan kisah kali ini. Biarkan semesta yang menetapkan arti hidup dan mati. Jika suatu saat aku telah berhasil mengiklaskan. Maka percayalah, ada satu hal yang tak bisa aku ikhlaskan, yaitu cara kepergiannya.
Rinai menuntunku menemukannya lalu dihanyutkan kembali oleh badai perpisahan. Garis waktu ini ku jadikan novel agar bisa menuangkan segala tentangnya. Menulis di kamar penuh kenangan, di mana aroma tubuhnya membeku bersama waktu kala itu.
Inilah puncak rasaku, jemariku tak pernah lelah menulis ribuan kata tentangnya. Meskipun tak ada sajak yang lebih indah seindah dirinya, dan tak ada lara yang seperih kepergiannya.
Puncak Tidore, 28 April 2025
Komentar
Posting Komentar