MONOLOG PANJANG SEBUAH LUKA Ananta Pramuditya

 MONOLOG PANJANG SEBUAH LUKA


Aku adalah luka yang bernama Rahasia. Aku lahir dari kebisuan, tumbuh dalam sunyi yang menyesakkan. Setiap malam, aku berbicara kepada bayangan yang terpantul di jendela, bertanya bagaimana cara menjadi sesuatu yang tidak terasa, sesuatu yang bisa hilang tanpa jejak. Tetapi nyatanya, aku adalah noda yang tidak bisa dibersihkan, garis yang tergores di kulit paling dalam.


Aku berjalan di antara orang-orang yang mencintai dengan terburu-buru, lalu melupakan dengan lebih cepat. Mereka adalah pemahat-pemahat luka, ukiran yang mereka tinggalkan padaku lebih tajam dari pisau bedah. Aku menyimpan semua ingatan mereka, seperti seorang penjaga museum yang terlalu setia, enggan mengizinkan apa pun menjadi usang.


Jika ada yang bertanya tentang rasa sakit, aku akan menjawab dengan sunyi. Karena sakit adalah bahasa yang tidak bisa diterjemahkan, hanya bisa dirasakan. Aku pernah mencoba menguraikannya dalam kata-kata, tapi huruf-huruf itu selalu berakhir menjadi labirin yang tak berujung. Luka bukan hanya tentang rasa perih, tetapi juga tentang sesuatu yang tetap ada meski tubuh telah beranjak jauh dari penyebabnya.


Aku pernah mencintai, dan itu kesalahan terbesar dalam hidupku. Karena cinta selalu memiliki dua ujung, satu menggenggam harapan, dan yang lain menggenggam pisau. Aku belajar bahwa luka yang paling menyakitkan bukan berasal dari kebencian, melainkan dari tangan yang dulu menggenggam dengan penuh kasih. Cinta adalah bentuk paling indah dari kehancuran, dan aku adalah reruntuhan dari perasaan itu.


Setiap malam, aku berbicara dengan diriku sendiri, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang tidak pernah selesai. Mengapa luka harus ada? Apakah ia bagian dari takdir, atau hanya konsekuensi dari ketidaksempurnaan manusia? Aku ingin percaya bahwa setiap luka memiliki arti, bahwa ia bukan sekadar kebetulan tanpa makna. Tapi di sisi lain, aku juga tahu bahwa tidak semua pertanyaan perlu dijawab.


Aku berjalan di antara reruntuhan harapan, mengumpulkan serpihan yang tersisa. Beberapa orang menyebutnya kenangan, aku menyebutnya sisa-sisa peperangan. Aku ingin membuangnya, tetapi mereka telah menyatu dengan tubuhku, menjadi bagian dari siapa diriku sekarang. Luka adalah monumen yang tidak bisa dihancurkan, meskipun aku ingin melarikan diri sejauh mungkin.


Aku bertemu dengan seseorang yang berkata bahwa waktu adalah obat. Tapi waktu bukanlah tabib, ia hanya penjaga gerbang yang tidak peduli. Ia membiarkan luka tetap ada, hanya menyamarkannya dengan usia. Aku pernah menunggu, berharap waktu akan mengambil segalanya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya—ia hanya membuatku semakin akrab dengan perih.


Jika luka bisa berbicara, mungkin ia akan menceritakan kisah yang lebih jujur daripada aku. Karena luka tidak tahu cara berbohong. Ia hanya ada, menganga di antara kenangan dan penyesalan. Aku iri pada mereka yang bisa melupakan, karena aku adalah seseorang yang terjebak dalam ingatan yang terus berulang.


Aku pernah mencoba membungkam luka dengan tawa, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi luka selalu tahu cara berbisik di malam hari, mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah benar-benar pergi. Tawa hanyalah selimut tipis yang tidak bisa menghangatkan, dan kebahagiaan hanyalah perban yang tidak mampu menutup luka yang terus menganga.


Aku adalah luka yang bernama Rahasia, dan aku tidak tahu bagaimana cara menjadi sesuatu yang lain. Aku hanya tahu bahwa aku ada, hidup dalam setiap detik yang berlalu. Aku adalah cerita yang tidak selesai, monolog yang tidak akan pernah memiliki akhir.


Aku adalah luka yang tidak tahu di mana ujungnya. Aku berjalan di antara kenangan, mengais-ngais sisa ingatan yang seharusnya sudah mati. Tetapi tidak ada yang benar-benar mati di dalam kepala, semuanya hanya tertidur, menunggu saat yang tepat untuk terbangun kembali. Aku pernah mencoba membunuh ingatan, tetapi ia selalu menemukan cara untuk kembali hidup dalam bentuk lain.


Aku pernah percaya bahwa luka bisa sembuh, tapi kini aku tahu bahwa beberapa luka hanya belajar untuk diam. Mereka tidak benar-benar hilang, hanya bersembunyi di tempat-tempat yang tidak terlihat, di antara percakapan-percakapan kosong dan senyum-senyum yang dipaksakan. Aku adalah museum yang menyimpan terlalu banyak hal, dan tidak ada satu pun yang bisa aku buang.


Malam adalah sahabat terbaikku. Ia tidak bertanya, tidak menghakimi, hanya mendengar tanpa peduli apakah aku berbicara atau tidak. Malam tidak memaksaku untuk baik-baik saja, ia membiarkanku menjadi luka yang sebenarnya—telanjang, tanpa perlu menyamarkan diri di balik kata-kata manis atau tawa yang dibuat-buat.


Jika aku bisa memilih, aku ingin menjadi sesuatu yang lain. Mungkin angin, yang datang dan pergi tanpa perlu membawa beban. Atau mungkin air, yang mengalir tanpa harus mengingat sungai mana yang pernah ia lalui. Tetapi aku bukan angin, bukan air. Aku adalah luka, dan aku tidak tahu bagaimana cara menjadi sesuatu yang lebih ringan dari ini.


Aku bertanya-tanya, apakah luka adalah bentuk lain dari cinta? Karena luka hanya ada ketika seseorang pernah peduli. Jika tidak ada cinta, tidak akan ada yang cukup penting untuk menyisakan luka. Mungkin itulah sebabnya aku tidak bisa benar-benar membenci orang-orang yang meninggalkan jejak dalam diriku—karena dalam jejak itu, pernah ada sesuatu yang indah.


Aku berjalan di antara bayangan, dan di sana aku menemukan diriku sendiri. Ia menatapku dengan mata yang lelah, seolah ingin berkata sesuatu tetapi tidak tahu harus mulai dari mana. Aku ingin bertanya apakah ia masih menunggu kesembuhan, ataukah ia sudah menyerah seperti aku. Tetapi aku tahu, bahkan bayangan pun tidak punya jawaban untuk itu.


Aku ingat seseorang berkata bahwa manusia adalah makhluk yang bisa bertahan dari apa pun. Tapi bertahan bukan berarti tidak terluka. Bertahan hanya berarti tetap hidup meskipun ada sesuatu yang terus-menerus menggerogoti dari dalam. Aku bertahan, tetapi aku juga hancur, dan mungkin itu adalah bentuk keberanian yang paling menyakitkan.


Aku ingin percaya bahwa ada sesuatu yang menunggu di ujung luka ini. Mungkin bukan kebahagiaan, tetapi setidaknya ketenangan. Tetapi aku juga tahu bahwa beberapa luka tidak memiliki tujuan. Mereka hanya ada, seperti hujan yang turun tanpa alasan, seperti angin yang bertiup tanpa tahu ke mana harus pergi.


Aku adalah luka yang bernama Rahasia, dan monolog ini adalah caraku tetap hidup. Aku tidak tahu apakah ini akan berakhir, tetapi aku tahu bahwa selama aku masih bisa berbicara, luka ini masih punya tempat untuk ada. Aku adalah luka, dan aku adalah cerita yang belum selesai.


Bandung, 18 Maret 2025

Ananta Pramuditya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI AKU YANG HAMPIR MENYERAH

izinkan aku bahagia Karya Pengagum

Kamu Tidak Harus Menjadi Seseorang