Kesaksian Akhir Abad³
Kesaksian Akhir Abad³
Karya: WS Rendra
Ratap tangis menerpa pintu kalbuku.
Bau anyir darah mengganggu tidur malamku.
O, tikar tafakur!
O, bau sungai tohor yang kotor!
Bagaimana aku akan bisa
membaca keadaan ini?
Di atas atap kesepian nalar pikiran
yang digalaukan oleh lampu-lampu kota
yang bertengkar dengan malam,
aku menyerukan namamu:
wahai para leluhur Nusantara!
O, Sanjaya!
Leluhur dari kebudayaan tanah.
O, Purnawarman!
Leluhur dari kebudayaan air!
Kedua wangsamu telah mampu
mempersekutukan budaya tanah dan air!
O, Resi Kuturan! O, Resi Nirarta!
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian!
Telah kamu ajarkan tatanan hidup
yang aneka dan sejahtera,
yang dijaga oleh dewan huku adat.
O, bagaimana aku bisa mengerti bahasa bising dari
bangsaku ini?
O, Kajao Laliddo! Bintang cemerlang Tana Ugi!
Negarawan yang pintar dan bijaksana!
Telah kamu ajarkan aturan permainan
di dalam benturan-benturan keinginan
yang berbagai ragam
di dalam kehidupan:
ade, bicara, rapang, dan wari.
O, lihatlah wajah-wajah berdarah
dan rahim yang diperkosa
muncul dari puing-puing tatanan hidup
yang porak poranda.
Kejahatan kasatmata
tertawa tanpa pengadilan.
Kekuasaan kekerasan
berak dan berdahak
di atas bendera kebangsaan.
O, anak cucuku di zaman Cybernetic!
Bagaimana kalian akan baca prasasti dari zaman kami?
Apakah kami akan mampu
menjadi ilham bagi kesimpulan
ataukah kami justru
menjadi sumber masalah
di dalam kehidupan?
Dengan puisi ini aku bersaksi
bahwa rakyat Indonesia belum merdeka.
Rakyat yang tanpa hak hukum
bukanlah rakyat merdeka.
Hak hukum yang tidak dilindungi
oleh lembaga pengadilan yang tinggi
adalah hukum yang ditulis di atas air
……………………………….
31 Desember 1999, Candi Ceto
6 November 2000, Balikpapan
³WS Rendra, Doa Untuk Anak Cucu, (Yogyakarta, Bentang Pustaka:2016), hlm 34-35.
Komentar
Posting Komentar