Postingan

Dan Aku Masih Di Sini"

"Dan Aku Masih Di Sini" Mencintai itu indah, sampai kau sadar… kau mencintai sendirian dalam rumah yang kau bangun berdua, tapi hanya satu yang masih menetap di dalamnya. Aku masih menyebut namamu dalam doa meski tak tahu apakah namaku masih sempat lewat di benakmu saat malam memelukmu dalam sunyi. Kita masih bersama, tapi kehangatanmu terasa seperti baju yang sudah tak muat, kau pakai, tapi hanya sekadar kewajiban. “I love you,” katamu tapi itu lebih mirip formalitas daripada pelukan. Suaranya datar, seperti menyebut jam atau cuaca. Aku mencoba percaya. Mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanya fase, bahwa kamu sibuk, lelah, terbagi... tapi jujur, hatiku sudah terlalu sering menemukan jawaban yang tak ingin aku dengar. Kamu masih ada, tapi rasanya seperti menatap lukisan yang dulu hidup—kini hanya bingkai dan warna pudar. Dan yang paling menyakitkan, aku tetap memilih tinggal. Tetap menunggu, tetap mencintai, walau tak tahu apakah kamu masih menoleh ke arahku… atau hanya dia...

Tembang Lingsir Sang Lelakut

 Tembang Lingsir Sang Lelakut Ia datang bukan dengan suara, tapi dengan senyap yang terlalu lama tinggal. Namanya tak pernah disebut— sebab yang menyebut, akan dihuni. Dulu, ia hanyalah jiwa yang patah —oleh cinta yang tak kembali. Kini ia adalah bayang, menjelma duka, merayap di sela malam, menyelinap ke dalam hati manusia yang rapuh. Tangisnya bukan air— tapi darah hitam yang menetes dari langit-langit mimpi. Ia bernyanyi, dengan tembang lingsir yang memanggil: "Buka hatimu, wahai manusia, biar aku masuk—agar kita bersedih bersama..." Dinding-dinding rumah bergetar saat ia lewat. Cermin berkabut, lampu redup tanpa sebab. Ia tidak mengetuk pintu. Ia mengetuk jiwa. Dan saat kau merasa sendu tanpa alasan, saat dada sesak di tengah keramaian, itu bukan kau yang bersedih. Itu dia— yang meminjam tubuhmu untuk menangis. Ia tak mau membunuh. Ia hanya ingin bersarang. Menjadikan tubuhmu tempat ia melolong lirih sambil menunggu cinta lamanya kembali dari neraka. Dan saat kau terbangu...

KATANYA NYATANYA KARYA FAJRI SAIQ S DAN FRANKLYN

 KATANYA NYATANYA KARYA FAJRI SAIQ S DAN FRANKLYN Katanya negeriku merdeka  Nyatanya Hak rakyat dirampas oleh penguasa Dimana hak rakyat ditindas dan dipaksa  Di sodomi akal dan ekonominya Katanya hukum tegak berdiri Nyatanya tumpul ke atas, runcing ke bawah menindih Keadilan hanya mimpi bagi yang tak punya Suara kebenaran dibungkam, dipaksa mati Dimana yang katanya untuk rakyat?  Dimana yang katanya untuk wong cilik?  Dimana yang katanya untuk para orang tua dan dhuafa?  Nyatanya masih ada yang terluka Nyatanya masih ada yang mati karna kelaparan Nyatanya masih ada yang menangis karna tak punya rumah Amarah punah marah AHH... Katanya pembangunan terus melaju Nyatanya hanya segelintir yang menikmati hasilnya Kemewahan gedung pencakar langit menjulang Di bawahnya, rakyat jelata terus berjuang Janji manis tinggal janji kosong belaka Luka lama kian menganga, tak terobati Cuih.... Katanya para polisi dan penegak hukum adil terhadap rakyat Nyatanya masih ada okn...

Hujan yang Berlalu Karya Agit Yogi Subandi

 Hujan yang Berlalu Karya Agit Yogi Subandi "pelan-pelan, sayang! hujan perlahan reda..." tubuhku asing di antara tubir trotoar dan pasir di jalan dan wajah-wajah penuh buku mondar-mandir juga sesekali mencuri waktuku "ayo, kita mencari tempat singgah! yang merelakan ruangnya kita jarah!" paru-paruku digantungi batu sejak engkau mulai memaknai hujan dengan sebuah lagu  di mana kerap kau hempaskan tubuhmu  ke gelombang tembang lalu kita pura-pura melukis hujan di jendela yang kita tahu, bahwa ia telah terbingkai sebelum kita datang dan setelah hujan berlalu, apakah kita masih akan mencari tempat yang ruangannya rela kita jarah? sementara di luar, orang-orang telah berencana melanjutkan perjalanan dan mengakhiri pembicaraan 2007

Kisah dalam Cerita Perjalanan Karya A.A. Navis

 Kisah dalam Cerita Perjalanan Karya A.A. Navis Jika terdengar keluh penyerahannya menjalani — antara noktah langkah pertama sampai ke ujung gunung harapan — aku rasa, lagi aku rasa meruyak pedih luka dulu yang pernah kubunuh mati. Dulu berbesar nafsu berlari aku, berlari mencapai ujung gunung harapan tersesat tenggelam ke laut galian air mata pilu aku kembalikan ke lubuk hati. Tahulah aku besar rahmat-Mu melimpahi diri kiranya air asin laut pengobat luka sadar aku gunung harapan bukan diburu hanya harus ditunggu sampai waktunya tiba. Ah, tidak, harapanku telah mati bersama luka-luka aku akan kejar tunggu lagi ke dari siapa-siapa. Tuhan, kenapa aku tidak pulangkan semua ke haribaan-Mu, Tuhannya dan Tuhanku jua? Kenapa kepala batuku lembut luluh jika di hadapan-Mu? Dan aku, dan aku aku tidak akan berlari mendaki gunung harapan Biar, biarkan mauku dalam ridha-Mu hanyut tenggelam di laut galian Karena di sana.... ada air asin pengobat luka derita. 15 Januari 1951

Surat Pulang Karya Joko Pinurbo

 Surat Pulang Karya Joko Pinurbo Tenanglah. Aku tak pernah mengharap oleh-oleh dari orang yang hidupnya susah. Kamu bisa pulang dengan rindu yang masih utuh saja sudah merupakan berkah. Pulang ya pulang saja. Tak usah repot-repot membawa buah tangan yang hanya akan membuat tanganku gemetar dan mataku basah. Aku tahu, kepalamu kian berat dan hidupmu bertambah penat. Mau selonjor dan ongkang-ongkang saja kamu tak sempat. Pernah aku jauh-jauh pergi untuk menemuimu dan tak bisa menemukanmu. Di manakah kamu? Ke manakah kamu? Ealah, ternyata kau sedang beribadah di akunmu. Pulanglah dengan girang jika pulang adalah menulis ulang sajak yang rumpang. Jika kau punya banyak kucing tapi tak punya ngeong kucing, aku punya malam-malam bertaburkan ngeong kucing. Pulanglah dengan lugu. Masih ada pintu untukmu, bahkan jika kau pulang telanjang malam-malam saat aku sedang bertukar meong dengan kucingku. 2013

Dia dan Aku Karya Sitor Situmorang

 Dia dan Aku Karya Sitor Situmorang Akankah kita bercinta dalam kealpaan semesta? -- Bukankah udara penuh hampa ingin harga? - Mari, Dik, dekatkan hatimu pada api ini Tapi jangan sampai terbakar sekali. Akankah kita utamakan percakapan begini? -- Bukankah bumi penuh suara inginkan isi? - Mari, Dik, dekatkan bibirmu pada bisikan hati Tapi jangan sampai megap napas bernyanyi. Bukankah dada hamparkan warna Di pelaminan musim silih berganti Padamu jua kelupaan dan janji Akan kepermainan rahasia Permainan cumbu-dendam silih berganti Kemasygulan tangkap dan lari.